ALOKASI DANA DESA (ADD) versus PNPM
Oleh :
YAYAT
DIMYATI
BPD
GEGEMPALAN
Penyakit lama
peseteruan antar sektor, antar program, dan antar departeman dalam pelaksanaan
program pembangunan masyarakat belum sembuh rupanya. Belakangan malahan
menunjukkan gejala makin akut. Perseteruan tak hanya berlangsung di pucuk-pucuk
departemen di Jakarta. Tetapi sudah merembet, menjalar, dan menular hingga ke
desa-desa.
Hari-hari ini kita
menyaksikan bagaimana desa-desa dikepung oleh banyak program, oleh banyak departemen.
Ironisnya, desa selalu tidak punya obat penawar. Posisinya tidak lebih dari
sekedar medan pertarungan, lapangan balbalan, atau stadion tempat antar
departemen saling bertanding. Sementara warga desa, pemilik sejati lapangan itu
hanya menjadi penonton, atau penggembira yang sesekali bertepuk tangan, tetapi
juga yang setelah pertandingan usai masih harus membersihkan sampah sisa-sisa
pertarungan.
Ada dua program yang
sedang bertanding di daerah ini. Program Alokasi Dana Desa (ADD) versus Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Model RPJM Desa yang telah disusun susah
payah oleh Bapeda-AusAID-ACCESS konon menjadi mentah kembali karena kehadiran PNPM.
Kepala Desa sebagai
pucuk pimpinan pemerintah di tingkat desa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya,
mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat melalui
Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya
kepada Bupati (pasal 102 UU No. 22 tahun 1999). Sedangkan Badan Perwakilan Desa
mempunyai tugas untuk menetapkan Kepala Desa dari hasil pemilihan yang
dilaksanakan oleh masyarakat desa (ayat 3 pasal 95 UU No. 22 Tahun 1999) serta
sekaligus berhak untuk mengajukan usulan kepada Bupati agar Kepala Desa diberhentikan
(ayat 2 pasal 103 UU No. 22 Tahun 1999).
Hubungan antara Badan
Perwakilan Desa dan Kepala Desa yang lainnya adalah berkaitan dengan penetapan
peraturan desa dimana peraturan desa hanya sah secara hukum jika peraturan desa
tersebut telah ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa. Jika salah satu dari
Badan Perwakilan Desa atau Kepala Desa tidak terlibat dalam penetapan peraturan
desa maka peraturan tersebut tidak sah secara hukum. Peraturan desa yang
ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa dan Kepala Desa juga termasuk penetapan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahunnya (ayat 3 pasal 107 UU No.
22 tahun 1999).
Dalam desa tidak
hanya kelembagaan pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa saja yang ada, tapi
ada dua lembaga lagi yaitu kelembagaan ekonomi dan kelembagaan sosial. Kelembagaan
ekonomi terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang berorientasi profit
(keuntungan) dan dibentuk di desa berbasiskan pada pengelolaan sektor produksi
dan distribusi. Contoh dari kelembagaan ekonomi adalah koperasi, kelompok tani,
kelompok pengrajin, perseroan terbatas yang ada di desa. Kelembagaan sosial
meliputi pengelompokan sosial yang dibentuk oleh warga dan bersifat sukarela.
Contoh dari kelembagan sosial adalah karang taruna, arisan, lembaga swadaya
masyarakat, forum rt/rw, organisasi masyarakat.
Dalam berhubungan
keempat lembaga tersebut berinteraksi secara dinamis (bisa merenggang maupun
merapat) sesuai dengan kekuatan dan posisi tawar yang dimiliki masing-masing
lembaga. Pada waktu tertentu, dimungkinkan adanya satu lembaga yang lebih dominan
dibandingkan dengan ketiga lembaga lainnya dalam interaksi sosial. Sebagai
contoh dimana pada masa Orde Baru, Pemerintah Desa lebih dominan dibandingkan
dengan lembaga politik, masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil. Oleh karena
itu, hubungan yang ideal dalam kehidupan di tingkat desa adalah keempat lembaga
tersebut dilibatkan dalam proses pembangunan desa. Dengan kalimat lain perlu
dibangun adanya partisipasi yang menyeluruh dan saling menguatkan antar
lembaga-lembaga yang ada di desa. Dalam bahasa akademis hubungan yang saling
menguatkan tersebut dikenal dengan istilah Tata Pemerintahan Yang Baik (Good
Governance).
Tata Pemerintahan
Yang Baik (Good Governance) adalah suatu kesepakatan tentang penyelenggaraan
Pemerintahan yang diciptakan secara bersama oleh semua elemen yang ada di suatu
wilayah. Jika di tingkat Desa, Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)
adalah sebuah kesepakatan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa yang diciptakan
secara bersama oleh pemerintah desa, kelembagaan politik desa, kelembagaan
ekonomi desa dan kelembagaan sosial desa. Dengan kalimat lain, Tata
Pemerintahan Desa Yang Baik merujuk pada proses penciptaan hubungan kerjasama
antara empat kelembagaan yang ada di desa untuk membuat pengaturan-pengaturan
yang digunakan dalam menyelenggarakan pemerintahan di desa. Dengan
demikian dalam mewujudkan Tata Pemerintahan Desa Yang Baik, yang perlu dibangun
adalah sebuah mekanisme dialog atau komunikasi antar empat kelembagaan desa,
sehingga keempat lembaga desa sama-sama merasa memiliki tata pengaturan
tersebut.
Kecenderungan semakin
terlihat dimana para pegiat ADD di daerah menemukan akseptabilitas masyarakat
terhadap PNPM jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ADD. PNPM menjadi proyek
idola dan amat diminati baik masyarakat maupun pemerintah desa. Kelihatannya
memang sakti betul PPK-P2KP ini. Meskipun dianggap memiliki banyak cacat dari
sisi substansi pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, kenyatannya proyek ini
malahan lebih memasyarakat. Tentu saja ini merupakan warning bagi siapa
saja penggemar partisipasi untuk bekerja lebih keras menemukan metodologi
program. Kenyataannya yang dianggap partisipatif lebih diminati, yang diduga
memperdayakan malah dirindukan. Bagaimana bukan warning kalau Musrenbang yang
sudah dirancang berbulan-bulan dengan pikiran dan tools terbaik ternyata bisa
dimentahkan dengan satu dua gertakan.
Dari sisi desain,
program PNPM memang dianggap jauh lebih canggih. Mereka memiliki sistem,
mekanisme, dan prosedur pertanggungjawaban keuangan yang ketat. Mereka merekrut
fasilitator dan konsultan dalam jumlah besar, dan membayarnya dengan gaji yang
besar juga. Karena itu operator PNPM di lapangan sangat solid, mungkin sudah
sekuat jaringan birokrasi negara. Program ADD sebaliknya, Karena masih
baru seumur jagung, program ini belum menemukan sistem pengelolaan yang cukup
teruji. Instrumen-instrumen teknis pembukuan dalam program ADD relatif belum
dibangun. Aktor-aktor ADD kebanyakan adalah LSM yang sebagian besar bekerja
atas dasar semangat voluntarisme, seiring dengan energi yang pas-pasan pula.
Tapi itu tak penting
benar, yang paling mengenaskan adalah, banyak pemerintah kabupaten lebih senang
merespon PNPM daripada ADD. Pemerintah kabupaten mengerjakan ADD dengan
setengah hati dan orang-ogahan. Kebanyakan dari mereka berpikir pendek bahwa
ADD tidak lebih dari menggelontorkan dana kabupaten kepada desa. Karena itu,
mengerjakan ADD sama dengan bunuh diri, memereteli sendiri sebagian sumberdaya
yang selama ini dikangkanginya. Tetapi kabupaten selalu punya dalih : ADD belum dilaksanakan karena masyarakat desa
belum siap menerima uang yang jumlahnya cukup besar itu. Ironisnya,
kabupaten-kabupaten yang mengatakan bahwa desa belum siap ternyata juga tidak
melakukan apa-apa demi mempersiapkan desa. Itulah sebabnya mengapa banyak
praktek ADD yang masih jalan di tempat. Rata-rata kebijakan ADD sejauh ini masih
berupa good will. Tercatat masih terdapat sekitar 40% kabupaten di Indonesia
yang belum mempunyai aturan dasar ADD.
Mungkin benar bahwa
PNPM dan ADD punya watak yang beda. Yang pertama dikenal sebagai proyek Bank
Dunia, dan berbau utang luar negeri. Sedangkan yang terakhir adalah program
yang diusung untuk menjalankan misi otonomi daerah. Yang pertama cenderung
mendelgasikan pemerintah desa, sedangkan yang kedua justru menjadikan
pemerintah desa sebagai sasaran utama. Yang pertama mengibarkan bendera poverty
alleviation, dan yang kedua membentangkan spanduk good village governance. ADD
dilahirkan oleh Depdagri, sedangkan induk semang PNPM konon Bappenas-Menko Kesra-Depdagri.
Walaupun demikian,
integrasi pengelolaan kedua program ini sebenarnya dimungkinkan. Dana
nondesentralisasi yang masuk daerah dan desa, seperti PPK dan teman-temannya,
bisa ditempatkan sebagai dana akselerasi. Yaitu dana yang ditujukan untuk mempercepat
pencapaian tujuan perencanaan daerah dan desa. Dana itu tentu saja harus
disatukan dengan perencanaan lokal, sehingga PPK tidak perlu membangun jaringan
birokrasi dan perencanaan lagi. Pihak pusat cukup melakukan fasilitasi dan
supervisi atas perencanaan lokal ini.
Tetapi upaya
mengintegrasikan keduanya, selain membutuhkan energi besar, juga penuh jebakan
dan agak berbahaya. Karena, sementara desain integrasi dirancang, puluhan
workshop dilakukan, dan peraturan-peraturan untuk menjalankan desain baru itu
dibikin, jangan-jangan desa sudah keburu habis. Stamina desa sudah
terkuras untuk memahami program-program baru yang tak selalu bisa mereka
mengerti. Juga yang tidak memberikan mereka kedaulatan untuk memutuskan
nasibnya sendiri.
Tetapi di luar soal
teknis dan desain program, perseteruan ADD versus PNPM mungkin menggambarkan
persoalan yang jauh lebih besar dan mendasar, yakni bahwa upaya-upaya
pemberdayaan desa, atas nama program apapun, masih jauh panggang dari api.
Bahwa nasib desa sebenarnya tidak pernah berubah. Bahkan pada jaman ketika
otonomi desa sedang memperoleh momentum kebangkitannya seperti sekarang, desa
sejatinya tidak pernah memiliki kesempatan untuk otonom. Desa hanya suboordinat
negara.
Kenyataan ini mengantarkan
kita kepada soal lain, yakni bahwa apa yang disebut oleh Hans Antlov sebagai
"negaraisasi desa" ternyata tidak hanya berlangsung semasa Orde Baru.
Proses menyuntikkan serum negara ke dalam sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan
desa belum berhenti. Proses itu terus berlanjut, hingga hari ini, dengan varian
dan modus yang barangkali jauh lebih canggih dibandingkan dengan yang pernah
terjadi di masa lalu. Jika di masa lalu negaraisasi desa dilakukan atas nama
stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, sekarang dikibarkan di bawah
bendera pengentasan kemiskinan dan demokrasi. Jika di masa lalu aktor
negaraisasi desa adalah partai politik dan otoritarianisme kepemimpinan,
sekarang pemeran utamanya adalah departemen pemerintah dengan seluruh jaringan
birokrasinya, Bank Dunia, pemerintah kabupaten/kota, LSM, fasilitator, dan
konsultan profesional pembangunan masyarakat. Orang desa? Silakan menonton di
pinggir lapangan.
DIBALIK ADD ADA PRINSIP-PRINSIP DASAR ADD YANG SELAMA INI
BELUM DIPAHAMI OLEH MASYARAKAT.
Secara umum Alokasi
Dana Desa (ADD) atau yang di beberapa daerah dikenal juga dengan istilah
Perimbangan Keuangan Kabupaten dan Desa. Sebagaimana diketahui semua fihak
bahwa permasalahan desa bersama masyarakat warganya, masing-masing sangatlah
sepesifik dan tidak mungkin disamaratakan. Dengan adanya fiskal transfer ke
desa tersebut, maka Kabupaten tidak perlu lagi terlalu repot terlibat dalam
penyelesaian permasalahan-permasalahan skala desa karena masing-masing desa
bersama warganya sudah mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Selama ini
pembangunan desa hampir selalu dipilihkan dari atas, atau dikenal dengan
istilah top down dan pelaksananya adalah dinas/instansi pemerintah melalui
mekanisme proyek. Meskipun pengusulannya dimulai dari desa, bahkan dusun, namun
pada kenyataannya keputusan pilihan ada di tangan pemerintah daerah. Maka bukan
tidak mungkin proyek yang datang ke desa bukanlah kebutuhan yang didambakan
masyarakat, melainkan kebutuhan yang dirumuskan oleh pemerintah daerah. Biaya
pembangunannya pun sudah bukan rahasia lagi, jauh lebih besar dari kebutuhan
biaya dari kaca pandang masyarakat.
Pernyataan di atas
sering kita dengar dari masyarakat desa, dan mereka memang membuktikannya
dengan sunggung-sungguh. Mereka juga sudah sangat faham kalau pembangunan
desanya yang dikerjakan melalui proyek banyak potongannya di sana-sini.
Bukti di atas
menunjukkan betapa desa adalah potensi pembangunan yang besar bagi daerah.
Pembangunan dengan melibatkan langsung masyarakat desa, menunjukkan hasil yang
jauh lebih baik dan efisien daripada pembangunan desa yang selama ini
dijalankan dengan mekanisme proyek. Budaya gotong royong, gugur gunung,
sambatan, dan semacamnya adalah potensi sosial yang masih hidup di masyarakat
desa dan harus dilestarikan. Memberikan kesempatan luas kepada desa
mengatur rumah tangganya sendiri dengan memberikan kewenangan disertai dengan
biaya perimbangan akan mempercepat pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Belanja investasi yang lebih efisien ini akan mempercepat
kesejahteraan masyarakat secara lebih merata dalam jangka panjang.
Gerakan pembangunan
selama ini sering kali bias kepentingan politik. Atmosfir semacam itu berdampak
pada pelayanan publik yang tidak merata untuk semua warga. Ada desa yang selalu
mengalir lancer proyek-proyek dari tahun ke tahun ke desanya, atau bahkan bisa
bertumpuk beberapa proyek secara bersamaan, namun ada desa yang sama sekali
tidak pernah mendapat bagian kue pembangunan. Bias kepentingan tersebut
dirasakan oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk diskriminasi pelayanan yang
mereka terima. Kondisi semacam ini, kalau dibiarkan terus menerus bisa
menciptakan kecemburuan antar masyarakat. Dampaknya, akan terbangun rasa
enggan, tidak peduli (apatis), bahkan kebencian pada pemerintah bagi desa yang
tidak pernah kebagian tersebut.
Kondisi di atas
adalah salah satu potret kekecewaan desa karena sudah bertahun-tahun usulan
mereka tidak dipenuhi. Desa sudah menganggap bahwa tidak perlu lagi membuat
usulan karena toh usulan tersebut kemungkinan kecil dipenuhi. Di sisi lain para
pejabat pemda seing menyampaikan pernyataan seperti di atas dan menjadi
pembenaran klasik atas kebijakan top down yang masih belum bisa dirubah
sepenuhnya.
Beban pembangunan
bisa dikatakan lebih besar di kota dari pada desa. Akses pelayanan publik di
kota jauh lebih cepat berkembang daripada di desa. Pembangunan bias perkotaan
ini menciptakan pelayanan masyarakat kota dan desa yang semakin senjang dari
waktu ke waktu. Strategi pembangunan semacam ini tidak akan bisa mengatasi
masalah kemiskinan struktural, jumlah kemiskinan di desa akan selalu lebih
tinggi daripada di kota, disamping mobilisasi masyarakat dari desa ke kota (urbanisasi)
akan terus semakin besar, baik untuk keperluan mencari kesempatan kerja,
mencari ilmu, maupun mengais rejeki yang lain.
Bias pembangunan
tersebut secara mendasar menyulitkan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
pelayanan publik maupun pembangunan secara lebih adil. Strategi pembangunan
akan sulit diwujudkan karena asas pembangunan tidak didasarkan kepada kebutuhan
strategis melainkan lebih besar pada urusan kepentingan. Daerah justru
akan dibantu meningkatkan pelayanan ketika desa turut berperan membangun
lingkungannya. Pemerataan pembangunan bisa diwujudkan apabila daerah bersedia
memberikan kesempatan luas kepada desa untuk turut membangun melalui strategi
mengalokasikan dana yang proporsional kepada desa. Hal ini bisa dimengerti
karena desa sudah mendapatkan apa yang selama ini mereka dambakan, bisa
membangun desanya sesuai aspirasi warganya. Perhatian mereka sebagian akan
tertumpah bagaimana mewujudkan cita-cita desa.
Otonomi daerah
melahirkan ide reformasi desa dan menjadi gerakan pembaharuan pengelolaan desa
yang lebih modern di tengah-tengah tradisi masing-masing desa. Peranan desa
dalam pembangunan dan fungsi pelayanan terbawah mulai bergerak pasti menuju
kamajuan masa depan desa yang lebih baik. Kantor desa secara bertahap mulai
dibenahi dan dilengkapi peralatan-peralatan yang modern seperti komputer maupun
kelengkapan lain semacam telepon dan bahkan sepeda motor dinas.
Peningkatan peranan
desa dalam pembangunan berkontribusi besar mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa kesulitan yang selama ini membelenggu desa secara bertahap mampu
diurai oleh mereka sendiri. Dari sudut pandang pemberdayaan masyarakat,
masyarakat desa semakin mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan ini menjadi
indikator keberdayaan mereka. Sifat ketergantungan desa secara bertahap semakin
berkurang.
Secara umum ADD atau
di beberapa daerah disebut DAU Desa maupun DAU Nagari dapat diterima dan
dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat desa. Dana tersebut meskipun jumlahnya
masih terbatas namun telah mampu menjadi stimulan bagi pembangunan desa.
Sebagian besar masyarakat desa di daerah penelitian menyampaikan bahwa kebijakan
ADD ini dirasakan lebih bermanfaat daripada kebijakan DPDK yang ada selama ini.
Mekanismenya dirasakan lebih transparan dan partisipatif dan pemanfaatannya
lebih demokratis, berdasarkan pada rembug desa.
Membangun desa adalah
kebutuhan warga desa yang akan terus berlanjut. Hal ini bisa disaksikan dari
bertumpuknya usulan masyarakat setiap tahun yang disampaikan di Musbang Desa
maupun UDKP. Bertumpuknya usulan tersebut menunjukkan bahwa desa tidak
mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Kemandirian desa adalah kunci bagi
kemandirian daerah dalam jangka panjang. Sehingga membangun kemandirian desa
secara bertahap akan mengikis sifat ketergantungan desa yang terjadi selama
ini. Kemampuan masyarakat menyelesaikan masalahnya, kalau bisa diorong secara
luas di seluruh daerah, maka kreatifitas dan ketahanan masyarakat akan menjadi
modal penting menghadapi tantangan global di masa depan.
Partisipasi adalah sesuatu
yang tulus yang diberikan seseorang untuk suatu penyelesaikan masalah serta
mengontrol jalannya pemerintah. Selama ini partisipasi masyarakat desa
terbangun oleh rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang tinggi sesama warga desa.
Saat seorang warga mengalami suatu musibah, saudara dan tetangganya
berduyun-duyun membantu meringankan beban warga yang tertimpa musibah
tersebut. Demikian pula ketika masalah tersebut merupakan masalah RT, RW
dan Desa, warga RT, RW, dan Desa, akan berduyun-duyun membantu menyelesaikan
masalah tersebut, tanpa diminta, tanpa dipaksa.
Alokasi Dana Desa
atau yang di beberapa daerah disebut dengan Perimbangan Keuangan Kabupaten Desa
menjadi bagian dari Penerimaan Desa. Semua Penerimaan dan Belanja Desa
selanjutnya diputuskan dalam Peraturan Desa (Perdes) tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Belanja Desa digunakan untuk belanja
rutin dan belanja pembangunan. Belanja rutin yang dimaksudkan disini adalah
untuk belanja aparatur, meliputi pos belanja pegawai, belanja barang, belanja
pemeliharaan, serta belanja perjalanan dinas. Sedangkan Belanja Pembangunan
meliputi belanja Pembangunan Sarana dan Prasarana Pemerintahan, Produksi,
perhubungan, pembangunan lain-lain.
Meskipun manfaat
Alokasi Dana Desa dirasakan luas bagi kemandirian desa, namun masih ada
beberapa catatan hambatan dan tantangan ke depan. Hambatan yang paling terasa
di beberapa daerah terdapat pada kesiapan aparatur pemerintahan desa.
Pengalaman yang baru ini diakui oleh semua fihak masih membutuhkan waktu untuk
belajar banyak bagaimana mengelola secara mandiri pembangunan di
desa. Kesenjangan kemampuan antara aparatur pemerintahan Kabupaten dan
Desa yang disebabkan oleh perbedaan jam terbang ini masih menjadi penghambat
kelancaran implementasi ADD. Kelemahan perangkat dan aparatur pemerintah
desa tersebut menjadi sumber kelemahan administrasi desa. Inilah masalah yang
paling sering terjadi sehingga menjadi titik lemah bagi kelancaran pencairan
dana maupun pertanggungjawaban kepala desa.
Pengalaman desa dalam
hal perencanaan bisa dibilang masih sangat lemah. Hal ini sangat difahami
karena peranan desa selama ini hanya pengusul program yang disampaikan kepada
supra desa. Tentu saja mereka tidak memiliki kemampuan di bidan perencanaan
desa yang menjadi bagian penting ketika desa harus mengelola
dana. Hambatan lain yang tidak kalah subtansial adalah kesiapan Pemerintah
daerah sendiri terhadap perubahan peran desa tersebut, terutama bagi lembaga
yang bersentuhan dengan pemberdayaan desa. Selama ini bisa dikatakan desa
dianggap tidak tahu apa-apa.
No comments :
Post a Comment