DESA JADI KORBAN
Oleh :
YAYAT
DIMYATI
BPD DESA GEGEMPALAN
Desa dengan
pemerintahannya selama ini tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Desa
lebih banyak diposisikan sebagai obyek kekuasaan politik dari supra desa,
maupun obyek tersedianya sumber bahan dan tenaga kerja murah bagi pengusaha.
Sistem pemerintahan desa yang digunakan saat ini pada prinsipnya masih
meneruskan kebijakan pemerintah zaman penjajahan Belanda yang dinamakan
"indirect rule". Melalui cara ini, pemerintah Belanda dapat memerintah
rakyat desa melalui kepala desa, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya.
Disengaja atau tidak, selama ini pemerintah supra desa telah menempatkan desa
pada posisi yang marginal, contoh: PILPRES BIAYA SENDIRI. Pada masa lalu ada program
pembangunanĂŽAPBD, PILKADES desa,
tetapi lebih bersifat pelaksanaan cetak biru yang disiapkan pemerintah pusat,
yang dampaknya justru membuat desa semakin tergantung pada pihak luar desa.
Fungsi Desa sebagai tempat kehidupan dan penghidupan warganya menjadi pudar,
berganti hanya sebagai tempat tinggal.
Dilihat dari bentuk
dan kedudukannya, pemerintah desa adalah organisasi pemerintah semu, ini boleh
setuju boleh tidak yang ambivalen, atau lebih tepat disebut sebagai lembaga
kemasyarakatan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Dikatakan demikian karena
kewajiban-kewajibannya sebagai kewajiban pemerintah tapi haknya tidak, kepala
desa dan perangkat desanya bukan PNS yang digaji dengan dana dari negara.
Selama ini pembiayaan bagi organisasi pemerintah desa berasal dari sumber-sumber
keuangan tradisional berupa iuran warga maupun pengelolaan kekayaan desa,
ditambah dengan bantuan dari pemerintah supra desa. Kemudian keluar keputusan
politik dalam bentuk Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR-RI/2000 Rekomendasi Nomor 7,
ada keinginan politik untuk memperkuat desa, dengan kemungkinan menjadikannya
sebagai DAERAH OTONOM TERBAWAH, ini baru kemungkinan karena disitu disebut
studi perintisan berarti ada keinginan untuk menjadi daerah otonomi yang paling
bawah. Apabila Tap MPR tersebut masih digunakan sebagai dasar hukum di dalam
penyusunan RUU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2006-2025,
jadi posisi TAP MPR ini sangat dilematis karena MPR posisinya hanya lembaga
tinggi negara biasa tapi pada waktu TAP ini disyahkan MPR masih sebagai lembaga
tertinggi negara, jadi ada dua posisi, nah kalau itu masih dipegang perlu
disusun grand desain yang bertahap dan berkelanjutan.
Berbagai perubahan
terhadap desa dan pemerintahannya saat ini cenderung bersifat parsial dan
jangka pendek. Kita tidak pernah tahu kondisinya seperti apa dan kemana
arahnya, kalau diliaht prospeknya kedepan dengan kecenderungan TAP MPR masih dipakai
maka akan muncul desa otonom baru yang merupakan gabungan dari desa-desa yang
ada pada saat ini yang basisnya adalah TAP MPR No IV tapi konsekwensinya
otonomi yang hanya pemberian dari pemerintah, berubah dari otonomi pengakuan
yang selama ini berjalan, karena sekarang ini pemerintah sudah mengakui otonomi
yang sifatnya asli maka nanti akan berubah mengenai otonomi yang bersifat
pemberian dan ini juga akan menimbulkan kontroversi karena dianggap intervensi
pemerintah kepada desa masuk kedalam.
Otonomi desa pada
saat ini baru mencakup beberapa desa dan otonominya bersifat tradisional dan
kalau ini terjadi maka kecenderungannya adalah posisi kecamatan akan dihapus
dan tanda-tanda itu sudah nampak, misalnya adanya ADD kemudian pengisian
jabatan Sekdes menjadi PNS dan yang agak kontroversi yaitu pasal 72 ayat 7
huruf b, urusan kabupaten kota yang pengaturannya diserahkan kepada desa. Ini
akan menimbulkan kontroversi tapi proyeksinya seperti itu dengan asumsi TAP MPR
masih dipakai untuk landasan kalau tidak maka kita akan menyusun kritisan yang
lain.
Kalau bicara tentang
tata hubungan kerja antara desa dengan supra desa akan nampak bahwa tata hubungan
kerja antar satuan pemerintahan tergantung pada sumber kewenangannya.
Prinsipnya, pola pertanggungjawaban mengikuti pola pendelegasian kewenangan.
Tata hubungan kerja antar satuan pemerintahan yang tidak bersifat hierarkhis
bentuknya sebagai berikut: dari sistem yang lebih kecil wujudnya berupa
laporan, sedangkan dari sistem yang lebih besar wujudnya pembinaan, pengawasan
dan fasilitasi. Pola pertanggungjawaban pimpinan satuan pemerintahan akan
mengikuti pola pengisiannya. Pimpinan yang dipilih pertanggungjawabannya akan
mengikuti pola pemilihannya. Prinsipnya adalah mereka yang dipilih akan
bertangungjawab kepada yang memilih. Pola pertanggungjawaban pimpinan satuan
pemerintahan yang diangkat oleh pejabat yang berwenang, pada prinsipnya
bertanggungjawab kepada pejabat yang mengangkatnya.
Dilihat dari sistem
pemerintahan, pemerintah desa merupakan subsistem yang paling kecil. Tetapi
pemerintah desa bukan merupakan subordinasi dari pemerintah kabupaten. Dengan
demikian, kepala desa tidak bertanggungjawab kepada Bupati. Karena ada beberapa
perda yang mengatakan bahwa kepala desa bertanggungjawab kepada bupati, maka
ini jadi lucu. Mengingat jabatan kepala desa diisi melalui pemilihan langsung
oleh masyarakat, maka prinsipnya kepala desa bertanggungjawab kepada masyarakat
pemilihnya. Pertanggungjawaban kalau bupati kepada DPRD dan kalau kepala desa
kepada rakyat melalui BPD, itupun kalau menurut UU 22/99 ada perda yang
mengatakan kalau kepala desa bertanggungjawab kepada BPD, tetapi UU-nya
mengatakan bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD tapi kemudian diperkuat
dengan perda bahwa kepala desa bertanggungjawab kepada BPD. Ini menjadi tidak
sinkron dengan sistem yang dipilih bertanggungjawab kepada yang dipilih, kalau
kita melihat model pada UU 32/2004 karena kepala desa itu dipilih maka arah
pertanggungjawaban ada 3 yaitu:
1. keatas kepada LPPD, laporan
pemerintah daerah;
2. kesamping LKPC, laporan
pertanggungjawaban dan;
3. kebawah IPPD, informasi kepada
masyarakat.
Pola ini yang juga
dipakai kepala desa, mengikuti model yang diatas berarti kepala desa
menyampaikan laporan penyelenggaran pemerintah desa kepada Bupati, walikota,
dan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD yang sifatnya informatif
dan menyampaikan informasi penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat.
Polanya harus
konsisten dari nasional sampai ke desa. Kalau kita lihat pola
pertanggungjawaban penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh kepala desa itu ada
4 yaitu:
- Hak asli desa yang berasal dari hak asal-usul desa;
- Urusan pemerintah kabupaten/kota yang pelaksanaannya diserahkan kepada desa, dan saya cari asasnya tidak ada, saya menyebutnya dengan asas desentralisasi teknis, itupun masih tanda tanya, karena kalau pekerjaan itu berlangsung terus menerus maka asasnya apa?
- Asas dalam tugas pembantuan dan ini merupakan embrio dari desentralisasi, contoh yang sedang aktual misalnya di Jawa Barat adalah inventarisasi kendaraan bermotor. Itu tugas pembantuan dari dinas pendapatan daerah, informasi harga didaerah-daerah produsen pertanian itu dikerjakan oleh desa, itu tugas pembantuan dari dinas perindustrian dan perdagangan daripada mereka harus mengirim stafnya lebih baik meminta bantuan kepada desa.
- Urusan pemerintahan lainnya, yang jadi masalah dan kedudukan keorganisasiannya tidak jelas. Akhirnya yang menjadi perangkat desa adalah yang mau bukan yang mampu, ini memang bergeser dengan adanya kebijakan bahwa sekdes disuruh dari PNS, dan mulailah jabatan sekdes ini dilirik. Kita bicara bukan perkasus tapi gambaran umum 66.000 desa di Indonesia. Ini sangat saya khawatirkan dengan banyaknya dana yang dikucurkan ke desa dengan persiapan yang kurang, karena paling tidak akan kewalahan. Saya khawatir kalau tahun kemarin yang jadi tersangka dikejaksaan itu DPRD maka untuk tahun depannya kepala desa, karena di kabupaten Bandung itu yang terkecil 100 juta dan terbesar 200 juta pertahunnya dengan adanya ADD ini dan masih ditambah dari provinsi dan pos bantuan lainnya, maka yang jadi perangkat desa harus yang benar-benar mampu.
Jadi kalau tadi
menceritakan keuangan yang hebat untuk desa, saya sangat ragu karena mereka
mengurus diri sendiri saja tidak bisa. Hubungan kerja antara kepala desa dengan
camat yang menurut UU Nomor 5 Tahun 1979 semula bersifat
hierarkhis-subordinatif, sekarang bersifat pengawasan, pembinaan, fasilitasi
dan kerjasama (tergantung pada pelimpahan kewenangan nyang diberikan
bupati/walikota kepada camat). Karena kepala desa bukan perangkat daerah, maka
LPPDesa dari Kepala Desa disampaikan langsung kepada Bupati/Walikota tanpa
melalui camat. Sedangkan untuk melaksanakan pengawasan jalannya pemerintahan
desa, pembinaan, pemberian fasilitasi dalam bentuk pelatihan atau program
pendampingan, pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada camat.
Pemerintahan Desa
merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang strategis
dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan
nasional. Karena perannya yang besar, maka perlu adanya Peraturan-peraturan
atau Undang-Undang yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur
tentang pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal.
Oleh Blau dan Meyer
dalam Indarwanto (2001;16) dikatakan; secara praktis sebenarnya birokrasi atau
pemerintahan telah diterapkan masyarakat Mesir Kuno dan Romawi Kuno
berabad-abad lamanya, pada saat mereka sibuk mengatur jaringan irigasi, membagi
secara adil dan membuat dam-dam (bak penampung air) telah diterapkan
prinsip-prinsip pemerintahan/birokrasi. Demikian pula dikatakan oleh Indarwanto
(2001;16); masyarakat Jawa Kuno yang konon dahulu Jawa Dwipa atau Pulau
Jawa dijuluki sebagai
Lumbung Padi di Kepulauan Nusantara ini, sebenarnya telah terbiasa dengan
aturan-aturan; Jaga Tirto, Ulu-ulu atau Kuwowo bertalian dengan jaringan
irigas, merupakan bentuk dari penerapan bentuk pemerintahan.
Untuk meningkatkan
kinerja dari pemerintahan daerah, termasuk pemerintahan desa, pemerintah pusat
beberapa kali telah mengeluarkan Undang-Undang yang berkaitan dengan hal
tersebut, diantaranya Undang-Undang No, 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam undang-Undang ini disebutkan disebutkan:
Desa
berdasarkan undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain
sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan
hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai
Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa merupakan subsistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga
Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.
Kepala Desa bertanggung jawab pada badan perwakilan Desa dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati.
Desa dapat melakukan
perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan,
harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan.
Untuk itu Kepala Desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai
wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling
menguntungkan.
Sebagai perwujudan
demokrasi, di Desa di bentuk Badan Perwakilan Desa atau sebutan lain yang
sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang berfungsi
sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
Di desa dibentuk
lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa. Lembaga
dimaksud merupakan mitra Pemerintah Desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat
Desa. Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan desa, bantuan
pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan
pihak ketiga dan pinjaman Desa. Berdasarkan hak asal-usul Desa yang
besangkutan, Kepala Desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa
dari para warganya.
Dalam upaya
meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang bercirikan
perkotaan dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintah Kelurahan yang berada di
dalam daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota. Sedangkan pada Undang-Undang
Republik Indonesia No. 32/2004 tentang Revisi Undang-Undang No. 22/1999
disebutkan:
- Kelurahan dibentuk di wilayah Kecamatan dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah
- Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota
- Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lurah mempunyai tugas:
- Pelaksanaan kegiatan pemerintah kelurahan
- Pemberdayaan masyarakat
- Pelayanan masyarakat
- Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum
- Pemeliharaan prasarana dan fasilitas umum
4. Lurah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari PNS
yang menguasai pengetahuan teknik pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
5. Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lurah bertanggung jawab kepada
Bupati/Walikota melalui camat
6. Lurah dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dibantu oleh perangkat
Kelurahan
7. Untuk kelancaran
tugas Lurah sebagaimana dimaksud ayat (3) dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai
dengan kebutuhan yang ditetapkan oleh Peraturan daerah.
Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan
kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah
kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda
dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam
perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.
No comments :
Post a Comment